Rabu, 19 Juni 2013

POA PUSKESMAS, ATASI KEMATIAN IBU & ANAK

Probolinggo, Jurnalis Warga – Plan of Action (POA) Puskesmas diharapkan menjadi solusi bagi upaya maksimal pencegahan kematian ibu dan anak yang belakangan mulai marak terjadi di Kabupaten Probolinggo. Hal ini terungkap dalam acara Finalisasi Perencanaan Partisipatif Puskesmas di Bappeda Kabupaten Probolinggo, Selasa 18/06. Field Coordinator LPA Kabupaten Probolinggo Rusdjiono menyampaikan bahwa Finalisasi POA (Plan of Action) Puskesmas merupakan akumulasi asistensi POA di masing-masing Puskesmas yang menjadi Pilot Project LPA dan USAID – KINERJA yang dilaksanakan mulai tanggal 14 – 17 Juni 2013. Senada dengan Rusdjiono, Anna Maria dari Dinas Kesehatan menegaskan bahwa POA (Plan of Action) di Puskesmas seringkali hanya bersifat fragmentasi padahal seharusnya secara keseluruhan, dan harapannya 3 (tiga) Puskesmas (Krucil, Maron dan Sumberasih) bisa menjadi contoh sukses bagi semua Puskesmas di Kabupaten Probolinggo. Anna Maria juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam penyusunan POA (Plan of Action), hingga larut malam tetap bersemangat dan memiliki dedikasi yang tinggi, etos kerja yang seperti ini harus terus dipertahankan.
2 (dua) kasus kematian ibu di Sumberasih menjadi perhatian serius semua pihak, padahal semua prosedur pelayanan dan penanganan dilalui, tetapi justru kematian ibu tak terhindarkan. Vierra – Fasilitator LPA, menguak tabir 2 (dua) kematian ibu di sumberasih dalam waktu yang hampir bersamaan. ALO seringkali disebut unprevented mortality (kematiannya tidak bisa dicegah). COB (Cedera Otak Berat) mortalitynya yang diperbolehkan hanya 70% sehingga ada 30% yang bisa dicegah pada fase yang lebih dini. Seringkali kita terlena pada fase nifas karena dianggap sudah aman, ibu sudah lahir ibunya selamat.Masalah dianggap selesai, ternyata belum.Kematian seringkali terjadi pada ibu nifas bukan pada ibu bersalin.Tendensinya pasti berbeda, kematian ibu bersalin seringkali karena perdarahan atau pre eklampsia. Jika ibu nifas sudah pulang, jauh lebih sulit. Program Jampersal, ada KN (Kunjungan Neonatus) sehingga bisa lebih aktif karena bergantung pada provider. Di Kabupaten Probolinggo, KN-nya bagaimana? Kasus di Sumberasih menurut data ANC 10x, kunjungan nifas 2x oleh dr. Sp.OG dan 4 kali oleh bidan namun tidak mau dirujuk (masih tercover Jampersal) karena berat meninggalkan pekerjaan di rumah sehingga tidak bisa menunggui keluarga.
Kita harus akui bahwa ystem pelayanan tidak berfungsi baik, dan pasien alergi dirujuk ke RS, karena yang menunggu adalah perawat. Dia tidak melakukan tugasnya dalam keperawatan namun ‘menggantikan’ tugas dokter. Ini bisa menjadi catatan kenapa pasien menolak dirujuk ke RS. Sebagai contoh, ada pasien jatuh saat ingin mengambil obat karena yang menjaga sedang pergi. Perawat malah menyalahkan karena penjaga (keluarga)pergi tidak bilang. Menjaga pasien seharusnya adalah tugas perawat, bukan keluarga pasien yang notabene tidak tahu apa yang harus dilakukan terkait tindakan medis. Di salah satu RS di Jawa Tengah rasio perawat dengan pasien sudah bagus.Semua pasien dimandikan oleh perawat.Kemudian makan dan minum obat.Sekarang yang kebanyakan terjadi 70% tugas perawat adalah pengalihan tugas dokter ke perawat sehingga perawat tidak berfikir apakah pasien sudah makan atau belum, makannya cukup atau tidak. Jika keluarga harus menunggu pasien di RS maka biayanya bisa tiga kali lipat karena harus memikirkan biaya makan saat menunggu, biaya pasien di RS dan meninggalkan pekerjaan.Hal ini yang seringkali membuat pasien enggan untuk dirujuk ke RS, ujar Vierra menegaskan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar