POA PUSKESMAS, ATASI KEMATIAN IBU & ANAK
Probolinggo,
Jurnalis Warga – Plan of Action (POA) Puskesmas diharapkan menjadi
solusi bagi upaya maksimal pencegahan kematian ibu dan anak yang
belakangan mulai marak terjadi di Kabupaten Probolinggo. Hal ini
terungkap dalam acara Finalisasi Perencanaan Partisipatif Puskesmas di
Bappeda Kabupaten Probolinggo, Selasa 18/06. Field Coordinator LPA
Kabupaten Probolinggo Rusdjiono menyampaikan bahwa Finalisasi POA (Plan
of Action) Puskesmas merupakan akumulasi asistensi POA di masing-masing
Puskesmas yang menjadi Pilot Project LPA dan USAID – KINERJA yang
dilaksanakan mulai tanggal 14 – 17 Juni 2013. Senada dengan Rusdjiono,
Anna Maria dari Dinas Kesehatan menegaskan bahwa POA (Plan of Action) di
Puskesmas seringkali hanya bersifat fragmentasi padahal seharusnya
secara keseluruhan, dan harapannya 3 (tiga) Puskesmas (Krucil, Maron dan
Sumberasih) bisa menjadi contoh sukses bagi semua Puskesmas di
Kabupaten Probolinggo. Anna Maria juga mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang terlibat dalam penyusunan POA (Plan of Action), hingga
larut malam tetap bersemangat dan memiliki dedikasi yang tinggi, etos
kerja yang seperti ini harus terus dipertahankan.
2 (dua) kasus
kematian ibu di Sumberasih menjadi perhatian serius semua pihak, padahal
semua prosedur pelayanan dan penanganan dilalui, tetapi justru kematian
ibu tak terhindarkan. Vierra – Fasilitator LPA, menguak tabir 2 (dua)
kematian ibu di sumberasih dalam waktu yang hampir bersamaan. ALO
seringkali disebut unprevented mortality (kematiannya tidak bisa
dicegah). COB (Cedera Otak Berat) mortalitynya yang diperbolehkan hanya
70% sehingga ada 30% yang bisa dicegah pada fase yang lebih dini.
Seringkali kita terlena pada fase nifas karena dianggap sudah aman, ibu
sudah lahir ibunya selamat.Masalah dianggap selesai, ternyata
belum.Kematian seringkali terjadi pada ibu nifas bukan pada ibu
bersalin.Tendensinya pasti berbeda, kematian ibu bersalin seringkali
karena perdarahan atau pre eklampsia. Jika ibu nifas sudah pulang, jauh
lebih sulit. Program Jampersal, ada KN (Kunjungan Neonatus) sehingga
bisa lebih aktif karena bergantung pada provider. Di Kabupaten
Probolinggo, KN-nya bagaimana? Kasus di Sumberasih menurut data ANC 10x,
kunjungan nifas 2x oleh dr. Sp.OG dan 4 kali oleh bidan namun tidak mau
dirujuk (masih tercover Jampersal) karena berat meninggalkan pekerjaan
di rumah sehingga tidak bisa menunggui keluarga.
Kita harus akui
bahwa ystem pelayanan tidak berfungsi baik, dan pasien alergi dirujuk
ke RS, karena yang menunggu adalah perawat. Dia tidak melakukan tugasnya
dalam keperawatan namun ‘menggantikan’ tugas dokter. Ini bisa menjadi
catatan kenapa pasien menolak dirujuk ke RS. Sebagai contoh, ada pasien
jatuh saat ingin mengambil obat karena yang menjaga sedang pergi.
Perawat malah menyalahkan karena penjaga (keluarga)pergi tidak bilang.
Menjaga pasien seharusnya adalah tugas perawat, bukan keluarga pasien
yang notabene tidak tahu apa yang harus dilakukan terkait tindakan
medis. Di salah satu RS di Jawa Tengah rasio perawat dengan pasien sudah
bagus.Semua pasien dimandikan oleh perawat.Kemudian makan dan minum
obat.Sekarang yang kebanyakan terjadi 70% tugas perawat adalah
pengalihan tugas dokter ke perawat sehingga perawat tidak berfikir
apakah pasien sudah makan atau belum, makannya cukup atau tidak. Jika
keluarga harus menunggu pasien di RS maka biayanya bisa tiga kali lipat
karena harus memikirkan biaya makan saat menunggu, biaya pasien di RS
dan meninggalkan pekerjaan.Hal ini yang seringkali membuat pasien enggan
untuk dirujuk ke RS, ujar Vierra menegaskan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar